Kamis, 12 Februari 2015

MENELISISIK SENI MARAWIS

Menelisik Seni Marawis di Tasikmalaya

Di antara perkembangan kesenian kasidah rebana dan nasyid, kesenian marawis mungkin belum begitu populer di Tasikmalaya. Kesenian ini kini mulai berkembang di kecamatan Manonjaya, Leuwisari dan Ciawi. Di Kota Tasikmalaya sendiri, kelompok marawis masih bisa dihitung dengan jari, di antara yang eksistensinya mulai muncul ke permukaan adalah kelompok marawis Cintapada, Kecamatan Cibeureum.
Bagi sekelompok anak muda, kaum santri sarungan di Mts dan MA Mathlaulkhair Cintapada, bermain marawis tidaklah sekedar memainkan alat musik. Marawis hadir dengan kreativitas baru yang berpadu dengan sentuhan kesenian lokal, baik dalam proses kreatifnya, maupun fungsi pementasannya.




Di Cintapada, sebuah konfigurasi tarian payung geulis bisa berpadu dengan alunan shalawat diiringi tabuhan marawis. Menurut pembina kelompok nasyid Cintapada, Iip Syamsul Borelak, kelompoknya juga pernah berkolaborasi dengan seni tradional beluk dari Sanggar Candralijaya, Cikeusal. Kolaborasi ini memenangkan Festival Seni Unggulan Wilayah IV Jabar tahun 2008 sebagai juara ke-3.
Kelompok yang berdiri tahun 2005 ini memang baru pentas di beberapa kota saja, di antaranya di Tasikmalaya, Ciamis, Garut dan Bandung. Jika tarian samroh yang identik dengan marawis diganti dengan tarian payung geulis, beberapa shalawat yang dilantunkan pun sebagian besar diambil dari puji-pujian dari kitab al-Barjanji. “Kami mencoba memberi sentuhan kesenian lokal khas Tasikmalaya pada kesenian marawis”, imbuh Iip.
Kelompok marawis Mathlaulkhair yang kini digawangi Akik dan Billah (vokal), Teja (kompang), Abdussukur (hajir), Anton (tamtam), Nurul Huda (cymbal/kecrek), serta Ihab, Otong, Acep Rouf dan Agus (marwas) ini, juga menjadikan marawis sebagai bentuk lain prosesi upacara adat pada wisuda ataupun perkawinan. Berkolaborasi dengan tarian payung geulis dan genjring marawis, pertujukannya juga dilengkapi dengan dua lengser, lengser Sunda (emang lengser) dan lengser sunan (uwa lengser) dengan pakaian jubah ala sunan.
Mungkin dengan cara seperti ini perlahan-lahan kesenian marawis mulai mendapat tempat di dalam dan diluar pesantren. Di antara tarik-menarik penafsiran atas seni musik di pesantren-pesantren salafiyah, marawis rupanya mulai dilirik sebagai salah satu kesenian yang positif untuk media ekspresi para santrinya.
Bagi Akik dan Teja, misalnya, bermain marawis merupakan kegemaran yang menyenangkan. Kerja keras dan latihan secara rutin setiap hari Jum’at dan Minggu merupakan semacam katarsis dari padatnya jadwal sekolah dan pesantren. Akik yang semula vokalis dorban dan Teja yang sebelumnya pemain nasyid menemukan kenyamanan dan dukungan pesantren yang positif terhadap kesenian marawis. Akik dan Teja berharap, di kemudian hari marawis bisa lebih berkembang tak hanya di Cintapada, tapi di pesantren-pesantren lainnya di Kota Tasikmalaya.
Berkembangnya kesenian marawis Cintapada ini tak lepas dari dukungan Kepala Madrasah Tsanawiyah Mathlaulkhoer, Hj. Imas Solihat, M.Pd. ”Selain mendapat dukungan moril, juga dukungan materil, seperti pengadaan properti, termasuk pengadaan kostum para pemainnya”, sambung Iip.
Kelompok Marawis Cintapada, berfoto sehabis acara Kemilau Nusantara 2008 di Lap. Gasibu Bandung.


Sumber : http://marawisnuruliman.blogspot.com/2012/11/asal-usul-marawis.html#ixzz3RbxoQpQK

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar